Sabtu, 19 Juli 2008

Beberapa hari lalu, di salah satu harian yang terbit di kota Malang memuat berita bahwa Malang sebagai Learning Society sedang digagas lagi. Memang, lebih kurang 2 atau 3 tahun lalu gagasan menjadikan kota Malang sebagai Learning Society begitu gencar dibicarakan. Entah disebabkan faktor apa, gagasan tersebut tiba-tiba tenggelam.

Gagasan untuk menjadikan sebuah masyarakat sebagai Learning Society bukanlah sebatas kelatahan belaka, mengingat gagasan ini sudah teraktualisasikan di beberapa kota, seperti Klaten dan Jogjakarta. Gagasan ini muncul justru dari tuntutan masyarakat yang tak mungkin dihindari. Misalkan, dahulu, pengajar sekolah dasar adalah lulusan SPG, tenaga pembantu apoteker di apotik-apotik adalah lulusan SAA atau SMF, dan perawat adalah lulusan SPK. Tetapi sekarang, guru SD haruslah sarjana, asisten apoteker dan perawat harus tamatan diploma. Selain itu, dapat pula kita amati fenomena “raib”nya beberapa pekerjaan tertentu dan munculnya jenis pekerjaan baru. Misalkan, beberapa tahun lalu, untuk pekerjaan perkantoran masih dipersyaratkan adanya sertifikat mengetik. Saat ini, dunia kerja tidak lagi sekadar membutuhkan tukang ketik,lebih dari itu, mereka membutuhkan pekerja-pekerja yang bisa mengoperasikan komputer.

Ke depan, fenomena seperti itu akan semakin banyak kita alami. Misalkan, di beberapa negara maju sudah mulai mucul dan diuji-coba lembaga pendidikan jarak jauh yang gratis. Pembelajaran dilakukan melalui internet, sehingga seseorang dapat belajar kapan pun dia mau dari rumahnya. Bayangkan, jika uji coba ini dianggap berhasil, dan diberlakukan di negara kita, berapa ratus ribu orang guru akan kehilangan mata pencahariannya. Hanya tinggal diperlukan sedikit pengajar untuk model pembelajaran seperti itu, dan yang digunakan tentu hanya pengajar yang siap dengan model seperti itu.

Semua fenomena di atas menunjukkan kepada kita bahwa setiap insan yang hidup di abad ini harus selalu siap untuk terus menerus belajar, jika tidak ingin dipinggirkan oleh tuntutan zaman. Dari sisi ini barangkali bisa dipahami mengapa beberapa kota sangat bergairah menciptakan masyarakatnya sebagai Learning Society. Masyarakat yang insan-insannya terpacu untuk terus menerus belajar sebagai strategi untuk tetap survival ditengah tuntutan zaman yang terus menerus berubah dengan cepat dan berakselerasi ini.

Yang harus menjadi renungan kita, sebagai insan yang mengabdikan diri di dunia pendidikan, adalah apa yang harus kita perbuat terhadap anak didik kita supaya mereka mampu menghadapi tuntutan dunia kerja yang terus berubah di masa depan ? Cukupkah kita mempertahankan pola pembelajaran kita selama ini, memberikan materi-materi pembelajaran sesuai dengan kurikulum masing-masing institusi pendidikan ? Sementara terdapat fakta bahwa sepanjang keberadaannya, kurikulum pendidikan selalu ketinggalan dibandingkan kemajuan-kemajuan iptek dan aplikasinya di masyarakat luas.

Atas dasar pemikiran di atas, ke depan, orientasi pengajaran tidaklah sebatas penguasaan materi, tetapi pendidik juga membantu peserta didik untuk bisa menguasai ketrampilan menggunakan metode-metode belajar yang paling mutakhir yang telah teruji secara empiris, misalkan Quantum Learning, Accelerated Learning, dan lain-lain. Karena, menurut pendapat beberapa ahli pendidikan, lemahnya motivasi belajar adalah disebabkan tidak dimilikinya metode belajar yang memadai. Sehingga, aktivitas belajar dianggap sebagai hal yang sangat “menyiksa”. Bukankah juga demikian dengan sebagian besar peserta didik kita ? Selain karena itu, seperti di sebutkan di atas, ketrampilan belajar juga merupakan kebutuhan setiap insan untuk survive di masyarakat.

Di samping membantu peserta didik menguasai metode-metode belajar yang mutakhir, dalam memberikan pengajaran, guru atau dosen juga harus merubah orientasinya. Jika sebelumnya orientasinya kepada guru atau dosen, maka harus berubah kepada peserta didik. Sebenarnya, mengenai keharusan untuk merubah oreintasi pengajaran seperti di atas telah lama kita dengar, berbagai istilah pernah digunakan untuk itu, misalkan learning by doing, CBSA, dan semacamnya. Namun, karena esensinya kurang begitu dipahami secara luas, aplikasinya tetap saja, pengajaran berorientasi kepada pengajar.

Sejak jaman Belanda hingga berakhirnya kurikulum ‘94 pengajaran masih didominasi pemberian materi dengan ceramah dan penugasan terstruktur yang sangat rigid. Dalam arti, dengan tugas tersebut, peserta didik hanya mencari jawab di textbook atas pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh pengajar. Atau, kalau tugas itu bersifat praktek, maka tugas peserta didik hanyalah sebatas melaksanakan prosedur-prosedur yang diberikan oleh pengajar yang dianggapnya telah baku.

Model pembelajaran seperti itu setidaknya membawa dua implikasi yang negatif. Pertama, model itu tidak memiliki daya dorong kepada siswa untuk belajar lebih jauh dari yang ditugaskan itu. Karena ceramah dan tugas-tugas seperti itu tidak akan mendorong peserta didik untuk membaca dan mencoba lebih banyak. Begitu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan telah didapat di buku catatan atau di textbook, prosedur praktek telah dilaksanakan, maka selesailah tugasnya. Kedua, model seperti itu tak dapat memicu aktualisasi potensi-potensi peserta didik. Karena tugas-tugas disusun dengan sangat tersruktur dan rigid, sehingga tidak ada ruang bagi peserta didik untuk mengeksplorasi pemikiran-pemikirannya dan mencoba-coba gagasannya. Akibat jarangnya diberi ruang untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya, maka peserta didik sendiri pun tidak pernah memahami seberapa besar potensi yang dimilikinya. Beberapa ahli psikologi mengemukakan bahwa akibat dari pola pembelajaran seperti itu, hanya 10% saja potensi otak manusia yang digunakan, selebihnya dibiarkan tertidur.

Sebagai pendidik, tentu kita akan merasa berdosa besar jika terus melanggengkan pengebirian potensi luar biasa manusia tersebut dan membiarkannya terdampar ke dalam ketakberdayaan diterpa perubahan-perubahan yang terus berakselerasi. Karenanya, sebagai keniscayaan bahwa kita harus merubah model pengajaran kita. Kita harus berpindah haluan dari behavioristik ke konstruktivistik, quantum teaching, KBK, atau apapun namanya. Yang jelas, model pengajaran harus mengarah pada eksplorasi potensi-potensi peserta didik. Tentunya penjelasan detail mengenai model pembelajaran demikian tidak memungkinkan untuk dibahas dalam tulisan ini.

Selain itu, di dalam jiwa pendidik harus terlebih dahulu merubah orientasi berpikirnya. Jika sebelumnya beranggapan bahwa pendidik merupakan pribadi yang kaya dengan ilmu dan peserta didik harus mendatanginya untuk “meminta ilmu setetes demi setetes”, maka ke depan harus berpikir bahwa pendidik merupakan pribadi yang akan membantu dan melayani peserta didik untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dengan anggapan pertama menyebabkan dia melihat semua peserta didik sama adanya, sebagai pribadi yang butuh ilmu. Dengan berpola-pikir seperti itu, dia tidak akan pernah melihat nuansa perbedaan kelebihan dan kelemahan masing-masing peserta didiknya. Dia hanya tahu murid pandai, agak pandai, dan murid bodoh. Dia akan kesulitan melihat kemampuan-kemampuan peserta didik yang masih potensial. Jika melihat saja kesulitan, bagaimana mungkin bisa membantu mengaktualkan yang masih potensial. Sebaliknya, jika pendidik berpikir bahwa ia ada untuk membantu dan melayani peserta didik untuk mengeksplorasi segenap potensinya, maka ia akan dengan sungguh-sungguh mewujudkan tujuan tersebut. Ia akan dengan tekun mempelajari kekurangan dan kelebihan masing-masing peserta didiknya. Dan dari pemahaman akan kelebihan dan kekurangan tersebut, pendidik akan tahu potensi-potensi apa dari mereka yang dapat dikembangkan.

Mudah-mudahan dengan tulisan ini sedikit bisa memberi gambaran mengenai arah mana yang hendak kita tuju ke depan. Atau jika dirumuskan ke bentuk misi adalah terciptanya masyarakat pembelajar di lingkungan pendidikan kita masing-masing.

Persoalannya adalah dari manakah kita akan mulai untuk membangun masyarakat pembelajar di lingkungan ini. Dengan tanpa bermaksud mengesampingkan pentingnya pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang proses belajar, menumbuhkan budaya belajar adalah dimulai dari memperhatikan peserta didik yang malas dalam belajar. Mereka harus dikondisikan agar mau belajar dan penyadaran agar merasa bahwa belajar sebagai sebuah kebutuhan. Jika ini berhasil dilakukan oleh management organisasi pembelajar, maka akan dihasilkan insan-insan pembelajar. Ciri utamanya adalah mereka malu jika tidak belajar pada jam-jam belajar, merasa bersalah jika tidak mengerjakan pekerjaan rumah, lebih mengutamakan berdiskusi soal bahan pelajaran daripada berbicara tentang topik lain tatkala berada di kelas, lebih mengutamakan kemampuan diri daripada menyontek saat ulangan, tidak cepat merasa puas atas prestasi belajarnya, dan lain-lain.

Membangun mental mahasiswa atau siswa dari tidak mau belajar ke rajin belajar atau bermental sebagai insan pembelajar diperlukan kerjasama antara masyarakat dan sekolah atau kampus. Selain itu, tidak cukup hanya dengan mengandalkan perubahan internal dari mahasiswa atau siswa secara orang per orang. Pengorganisasian lingkungan belajar yang kondusif merupakan keharusan bagi terbanguannya lingkungan belajar. Lingkungan belajar mahasiswa atau siswa yang diharapkan adalah sebagai berikut :

  1. Lingkungan Kampus atau Sekolah

a. Tercipta disiplin sekolah atau kampus yang mendorong terbentuknya disiplin belajar

b. Siswa atau mahasiswa menjadi pusat utama layanan pendidikan dan pengembangan.

c. Terciptanya rasa nyaman di sekolah atau kampus untuk belajar. Rasa nyaman ini akan timbul jika segenap komponen pendidikan yang ada memberi pelayanan kepada peserta didik dengan kehangatan, keakraban, dan kekeluargaan. Di samping itu, kebersihan lingkungan belajar juga merupakan unsur penting bagi terciptanya rasa nyaman ini.

d. Tersedia buku-buku dan sarana pembelajaran yang lain yang memadai.

e. Keteladanan guru/dosen sebagai masyarakat terpelajar.

f. Kinerja profesional guru/dosen yang terandalkan; mereka mampu memberi sugesti kepada anak didiknya.

g. Pemberian tugas mandiri dan testruktur kepada peserta didik dan ini direspons oleh peserta didik secara antusias.

h. Program kokurikuler dan ekstra kurikuler mengintegral dengan program kurikuler.

i. Penetapan kriteria prestasi dalam pembelajaran yang dilakukan secara objektif.

  1. Rumah Tangga

a. Orang tua menjadi masyarakat belajar atau pembaca.

b. Orang tua menemani anaknya belajar, bukan sekedar menyuruh belajar.

c. Ada jadwal belajar bagi peserta didik di rumahnya masing-masing.

d. Orang tua memantua kegiatan belajar anaknya.

e. Orang tua memantua prestasi belajar anaknya

f. Tersedia ruang belajar khusus bagi anak

g. Buku dan sumber informasi lain menjadi barang konsumsi keluarga.

Dari uraian di atas jelas bahwa kerja sama antara pihak sekolah dan orang tua peserta didik harus dibangun secara baik. Karena itu dibutuhkan suatu forum atau sarana yang dapat dengan mudah mempertemukan ke dua belah pihak ini dalam rangka mendukung keberhasilan peserta didik.

Tidak ada komentar: