Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang unas selalu ada fenomena yang sama, para orangtua yang punya anak kelas 3 SMP dan SMA/SMK, serta sekarang ditambah lagi kelas 6 SD, kalang kabut. Mereka cemas kalau anaknya tidak bisa lulus unas atau lulus dengan nilai yang tidak memadai sehingga setelah lulus akan kesulitan memasuki sekolah-sekolah lanjutan yang dianggap favorit. Kecemasan ini terutama sangat dirasakan oleh orangtua yang tingkat ekonominya pas-pasan. Orangtua dengan status ekonomi tinggi tidak terlalu mengalami kecemasan karena mereka bias memberi pelajaran tambahan buat anak-anaknya melalui berbagai lembaga bimbingan yang sangat diuntungkan oleh program pemerintah yang bernama unas ini.
Kecemasan seperti ini juga dialami oleh tetangga saya, Mas Ruspandi. Tetangga saya ini adalah seorang guru tidak tetap yang mengajar di salah satu SMP swasta yang muridnya tinggal beberapa gelintir, akibat kebijakan negara yang terus membuka SMPN baru, di desa saya. Barangkali kita semua bias menduga bahwa gaji Mas Ruspandi tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, untuk menambah pendapatannya, beliau memberi les privat kepada anak-anaknya orangtua yang mampu yang tidak mempercayai lembaga bimbingan yang ada. Karena, menurut mereka, lembaga bimbingan tersebut bukan mencerdaskan anak, tetapi hanya sekadar membuat anak piawai mengerjakan soal-soal objektif.
Di desa saya, Mas Ruspandi ini terkenal pintar dalam membuat anak pandai. Ia sangat telaten dalam membimbing anak-anak yang menjadi bimbingannya. Anak-anak yang belajar matematika, fak yang di ambil Mas Ruspandi, kepada beliau, benar-benar menguasai matematika. Yang dimaksud menguasai di sini tidak sekadar pandai mengerjakan soal-soal objektif, tetapi juga pandai mempelajari bab-bab baru dalam matematika yang belum diajarkan dan juga pandai menerapkan prinsip-prinsip atau dalil-dalil matematika dalam kehidupan nyata mereka.
Di suatu sore, sesaat sebelum memberi les kepada anak saya, Mas Ruspandi mengungkapkan kecemasannya mengenai kesiapan putrinya, Aneke, yang saat ini duduk di bangku kelas 3 SMP. Menurutnya, pelajaran Bahasa Inggris putrinya tersebut agak payah. Beliau ini bingung bagaimana caranya untuk bias mendongkrak kemampuan Bahasa Inggris Aneke.
Melihat kondisi ekonomi beliau adalah tidak mungkin saya menyarankan Aneke untuk mengikuti pelajaran tambahan di lembaga bimbingan atau memanggil guru privat Bahasa Inggris.
“Bukankah Ahmad, kakak Aneke, sangat mahir dalam pelajaran Bahsa Inggris ? Kudengar dia mendapat nilai 9 untuk Bahasa Inggris sewaktu dia mengikuti unas SMP dua tahun lalu,” celetukku.
“Ahmad memang pernah saya suruh ‘nyinaoni’ adiknya Bahasa Inggris. Tapi, kelihatannya Ahmad tidak pandai membantu orang lain untuk belajar Bahasa Inggris. Dia hanya pandai Bahasa Inggris untuk dirinya sendiri,”jawabnya. “Makanya, meski sudah dibantu Ahmad, Aneke tetap tidak bisa dalam pelajaran Bahasa Inggris.”
Selanjutnya, beliau ini mengungkapkan keherannya mengapa anak-anak sekarang tidak bisa membantu anak lainnya dalam belajar. Mereka hanya pandai untuk dirinya sendiri.
Kesalahan Paradigma Pengajaran
Apa yang diherankan teman saya tadi menjadi pemikiran saya. Mengapa murid-murid sekarang tidak bisa menularkan kepandaiannya kepada orang lain ? Apa penyebabnya ? Padahal, meski metode pengajaran yang dilakukan guru berubah-ubah seiring setiap kali pergantian Mendiknas, tetapi isi materi pelajarannya relatif tetap. Tapi mengapa orang-orang jaman dulu bisa ‘menularkan’ kepandainnya kepada orang lain sedangkan anak sekarang tidak ? Ini salah siapa ? Ini dosa siapa ?
Setelah dibikin bingung sekian lama, saya mulai bisa mencari akar permasalahannya. Menurut hemat saya, kesalahan kita yang utama adalah pada definisi pandai yang kita pakai selama ini. Pada umumnya, murid dikatakan pandai jika mampu menjawab soal-soal yang diberikan oleh gurunya. Sola-soal tersebut adalah mengulang apa saja yang pernah diajarkan oleh guru. Dengan demikian, dikatakan pandai jika murid bisa ‘memuntahkan’ kembali dengan pas segala materi yang pernah ‘disuapkan’ oleh guru, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang.
Keadaan demikian terus berlangsung sepanjang seorang anak duduk di bangku sekolah. Artinya, selama masa pendidikan, seorang anak hanya diasumsikan sebagai sebuah spon yang harus mampu menyerap segala ‘tetesan pengetahuan’ yang dikucurkan oleh guru. Akibat pola pembelajaran seperti ini, potensi peserta didik yang berkembang hanyalah kemampuan mengingat saja. Sedangkan, kemampuan-kemampuan lain dibiarkan mati perlahan-lahan. Selain itu, mereka juga tidak memiliki ketrampilan belajar sendiri, karena selama belajar di sekolah mereka sudah terbiasa disuapi guru dalam memperoleh pengetahuan.
Jadi penyebab mengapa anak-anak sekarang tidak bisa menularkan kepandainnya kepada orang lain adalah karena mereka sendiri tidak memiliki strategi belajar. Mereka hanya tahu apa yang harus dihapal dari gurunya. Karena mereka tidak memiliki strategi belajar yang lain selain menghapal apa yang disampaikan guru, otomatis mereka tidak bisa membantu orang lain mengatasi kesulitan-kesulitan belajarnya. Jangankan membantu kesulitan orang lain, saya yakin, membantu kesulitannya sendiri pasti juga tidak bisa.
Barangkali sudah saatnya para guru berpindah orientasi dalam memberikan pengajarannya. Dari yang berorientasi ‘menjejali’ otak murid dengan berbagai materi pelajaran beralih ke pemberian strategi belajar yang baik untuk masing-masing disiplin ilmu. Tapi, terus terang, saya sendiri ragu, apakah orientasi seperti itu akan menguntungkan jika satu-satunya tolok ukur kelulusan murid hanyalah unas ?